Sabtu, 27 Desember 2008

WAWASAN NUSANTARA

Wawasan Nusantara sebagai Perekat, Terancam

BERBAGAI pergolakan daerah yang menuntut pemisahan diri, menunjukkan makin
mengendurnya tali perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Tali perekat
persatuan dan kesatuan bangsa itu bagi banyak negara berbeda. Ada yang
mendasarkannya kepada kesamaan ideologi, ras, etnis, asal-usul, agama,
wawasan, ketokohan pemimpin sebagai pemersatu dan lain-lain. Indonesia
sebagai masyarakat majemuk, tali perekat itu ada pada ideologi, dalam hal
ini Pancasila serta cara pandang bersama yang kita namakan Wawasan
Nusantara.

Banyak negara, tali perekatnya adalah ketokohan atau kepemimpinan seseorang
sebagai pemersatu. Sering disebut sebagai contoh, antara lain Josef Broz
Tito dari bekas Yugoslavia. Bangsa kita di masa perjuangan dulu juga
mengandalkan kepada ketokohan pemimpin sebagai perekat bangsa dalam diri
Bung Karno dan Bung Hatta yang dijuluki dwitunggal. Tapi di samping
ketokohan itu, maka perekat paling lestari sebenarnya adalah kesepakatan
bersama menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.

Namun era Bung Karno dan Bung Hatta sudah lama berlalu. Sedang perekat
paling utama, paling mendasar dan paling lestari yaitu Pancasila,
akhir-akhir ini mendapat banyak tantangan. Dalam arti, dasar negara yang
disepakati para pendiri negara tersebut oleh berbagai pihak tidak lagi
diterima secara utuh sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
LANTAS apa lagi yang tersisa yang dapat dijadikan sebagai perekat bangsa?
Dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, tidak mudah
menemukan tali perekat dimaksud. Satu-satunya yang dapat dijadikan sebagai
tali perekat sebenarnya adalah Pancasila. Di samping itu, adanya wawasan
yang sama dilandasi oleh sejarah perjuangan bangsa, proklamasi, konfigurasi
wilayah, letak geografis dan kebersamaan.

Selain Pancasila, maka cara pandang bangsa yang sama, dapat dijadikan
landasan pemersatu, yaitu Wawasan Nusantara. Namun Wawasan Nusantara ini
pun akhir-akhir ini tengah menghadapi tantangan, tercermin dari tuntutan
beberapa daerah memisahkan diri dari RI. Karenanya menurut Dr Hasyim
Djalal, eksistensi Wawasan Nusantara tengah menghadapi ancaman (Kompas,
13/11/1999).

Kita sependapat dengan Dr Hasyim Djalal yang adalah salah seorang pimpinan
delegasi RI ke Konferensi Hukum Laut Internasional PBB III (1973-1982),
karena dengan pemisahan diri beberapa daerah menjadi negara merdeka, maka
prinsip Wawasan Nusantara yang mengatakan, perairan/laut bukan pemisah tapi
menjadi penghubung antara pulau yang satu dengan pulau yang lain, menjadi
kehilangan makna. Suatu konsepsi kewilayahan yang dengan tepat dan
strategis dirumuskan dalam "Deklarasi Djuanda" tanggal 13 Desember 1957.
Prinsip Wawasan Nusantara inilah yang diperjuangkan Indonesia di forum
Konferensi Hukum Laut PBB I (1958), II (1960) dan III (1973-1982). Dan
prinsip Wawasan Nusantara itu sendiri telah diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa dengan dituangkannya asas Negara Nusantara dalam konvensi
hukum laut internasional 1982 yang telah berlaku sejak tahun 1994.

JADI, apabila sekarang berbagai daerah menuntut pemisahan diri dari
Indonesia, maka tuntutan itu sama saja dengan mengingkari dan meniadakan
Wawasan Nusantara sebagai pemersatu dan tali perekat bangsa, padahal dunia
internasional sendiri sudah mengakuinya. Sebab dengan pemisahan itu, kita
tidak bisa lagi mengatakan, perairan/laut bukan pemisah justru menjadi
penghubung antara pulau yang satu dengan pulau yang lain dari Sabang hingga
Merauke, karena perairan kita menjadi terkotak-kotak, dipisah oleh
laut-laut bebas.(http://www.indo-news.com/)


Tidak ada komentar: